Konsep kehendak untuk berkuasa (the
will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik
perhatian dari pemikiran Nietzsche. Ia bisa dikategorikan sebagai seorang
pemikir naturalistik (naturalistic thinker) yang melihat manusia dari
insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan,
maupun mahluk hidup lainnya. Ia menolak konsep filsafat tradisional, seperti
kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan,
jiwa, dan sebagainya.
Ada tiga konsep dasar yang mewarnai
seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup,
proses transendensi insting-insting alamiah manusia, dan cara memandang
realitas yang menyeluruh (wholism). Pemikiran tentang kehendak untuk
berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai
fragmen-fragmen yang terpecah.
Dari semua fragmen tersebut, ada 3
pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa
sebagai abstraksi dari realitas, sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi
dari realitas (the nature of reality), dan sebagai realitas itu sendiri
secara apa adanya (reality as such). Ketiga makna itu bisa disingkat
sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat
dari sisinya yang paling gelap.
Nietzsche melihat realitas tersusun
dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya.
Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini
adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan
kehidupan alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi
dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Seluruh
realitas dan segala yang ada di dalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain
dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual
manusia.
Kehendak untuk berkuasa adalah
dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus
merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini
terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung.
Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa
pencipta dan tanpa arah.
Dunia adalah sesuatu yang hampa, dan
tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya
sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif dan untuk
memperoleh pengetahuan hanya memerlukan subyektivitas (subjectivity) dan
kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche
lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.
Dengan subyektivitas dan kemampuan
untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality)
di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri,
sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang
semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang
aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi
makna (meaning) atasnya.
Dengan kehendak untuk berkuasa,
manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat
yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia,
dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan
menjadikannya “manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf
yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia,
dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah
suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta
selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah hanya milik
manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya
sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata
antropomorfik.
Manusia harus belajar melihat alam
tidak hanya dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu
sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk
berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada
hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun
manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Manusia adalah bagian dari dunia
yang dimotori kehendak untuk berkuasa, sehingga manusia tidak dipandang sebagai
mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi
(sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong
manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity).
Manusia terdorong untuk mencipta
dunia karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa. Tindak mencipta dianggap
sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Manusia
bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak
untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia
adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa.
Pemahaman Nietzsche tentang ini
didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa
dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia
adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya
mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.
Pemikiran Nietzsche tentang kehendak
untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic
worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai
situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya.
Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari
imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia.
Nietzsche melepaskan logos sebagai
alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological
explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami
dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan
rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah
menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos.
Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer,
bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will
and representation). Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta,
bersikap pesimis, dan memilih untuk melarikan diri darinya, namun Nietzsche
melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, bersikap optimis, dan memilih
untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya.
Dua sikap tersebut dapat digunakan
untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan. Di
tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa,
dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri dari dunia seperti sikap yang
ditunjukkan Schopenhauer. Ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan
berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri seperti yang
disarankan oleh Nietzsche.
Konsep kehendak untuk berkuasa
memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Kehendak untuk berkuasa
mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan
keberpihakan ada energi-energi yang selama ini ditekan oleh agama dan moral
tradisional, namun kehendak berkuasa juga bisa dilihat sebagai simbol dari
kritiknya terhadap modernitas. Kehidupan modern dianggap telah menyempitkan
kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia
menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya
hidupnya.
Nietzsche ingin membongkar
kemunafikan manusia modern yang merindukan dan menghasrati kekuasaan, namun
berpura-pura menolaknya karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan
ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya
sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak
terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang
ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Nietzsche mengajak untuk menerima
diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk kekuasaan yang
sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia. Dengan penerimaan
semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong
sebagai kekuatan untuk mencipta.
Powerpoint ajaran filsafat NIETZSCHE :
https://drive.google.com/open?id=0B6-RIbN6yt5RTTN2dWFVNnlOMWM&authuser=0