Senin, 29 Juni 2015

HAKEKAT MANUSIA MENURUT PLATO

Menurut Plato, martabat manusia sebagai pribadi tidak terbatas pada mulainya jiwa bersatu dengan raga, jiwa tidak berada lebih dulu sebelum manusia atau pribadi adalah jiwa sendiri. Sedangkan badan oleh Plato yang disebut sebagai alat yang berguna sewaktu masih hidup didunia ini, tetapi badan itu disamping berguna sekaligus juga memberati usaha jiwa untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kembali kepada dunia “ide”.

Sedangkan jiwa berada sebelum bersatu dengan badan. Persatuan jiwa dengan badan merupakan hukuman, karena kegagalan jiwa untuk memusatkan perhatianya kepada dunia “ide”, jadi manusia mempunyai Pra-eksistensi yaitu sudah ada sebelum dipersatukan dengan badan dan jatuh kedunia ini.
Jiwa manusia sering dimengerti sebagai suatu benda halus atau suatu makhluk halus yang merasuki, meresapi serta menggunakan badan untuk mewujudkan cita-cita jiwawi. Terkadang pula jiwa manusia digambarkan atau dibayangkan persis seperti tubuhnya hanya saja tidak bissa diraba atau ditangkap sifat dari jiwa juga tergantung pada tarafnya..

Taraf tertinggi yaitu rasional, didalam manusia mengandaikan dukungan dari taraf-taraf yang lebih rendah, yaitu taraf anarganik (benda mati) taraf vegetatif (tumbuhan) dan taraf sensitive (binatang).
Dalam taraf rasional atau manusia pembaharuan merupakan peristiwa yang terus menerus terjadi. Pembaharuan menjadi begitu efektif didalam sejarah kehidupan manusia, karena didalam diri manusia terdapat kesadaran intelektual yang mempunyai kemampuan sangat efektif untuk menyederhanakan pengalaman dan memberi tekanan kepada segi yang dianggap pentingsambil menyingkirkan yang dianggap tidak relevan.

Kemampuan itu disebut kemampuan abstraksi, kemampuan abstraksi disisni berfungsi rasiio atau budi ssebagai yang menjalankan pemerintah atas keseluruhan ataupun bagian-bagian didalam manusia.
Didalam manusia terdapat 2 sumber bagi munculnya kebaruan yang satu merupakan hasil dari koordinasi yang ketat dari tubuh manusia sebagaimana juga terdapat pada binatanng, dan yang lain dari identitas yang hebat dari fungsi intelektual.

Perlu disadari bahwa budi tidak identik dengan jiwa, budi meskipun menduduki posisi tertinggi dan memegang dominasi atas bagian-bagian lain, hanyalah bagian dari jiwa, jiwa manusia adalah keseluruhan kompleks kegiatan mental dari taraf yang paling rendah sampai yang palling tinggi emosi, kenikmatan, harapan, ketakutan, penyesalan, penilaian dari macam-macam pengalaman mental innilah yang merupakan unsure-unsur pembentukan “jiwa manusia”, dan jiwa manusia itu ditandai dengan mental.

Menurut plato,  jiwa manusia adalah entitas non material yang dapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum kelahiran, jiwa itu tidak dapat hancur alias abadi. Lebih jauh Plato mengatakan bahwa hakikat manusia itu ada dua, yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Dua unsur yang hakikat ini dijelaskan oleh Plato dengan pemisalan seseorang yang makan kue atau minum sesuatu ia makan dan ia minum. Ini kesenangan, sementara rasionya tahu bahwa makanan dan minuman itu berbahaya  baginya.
Pada bagian lain Plato berteori bahwa jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu, dan rasio. Dalam operasinya ia mengandaikan roh itu sebagai kuda putih yang menarik kereta bersama kuda hitam (nafsu), yang dikendalikan oleh kusir yaitu rasio yang berusaha mengontrol laju kereta.

Dalam hal hidup bermasyarakat, Plato berpendapat bahwa hidup bermasyarakat itu merupakan keharusan bagi manusia; manusia tidak dapat hidup sendirian. Seseorang yang hidup di pulau sendirian akan sulit hidup karena aktifitas kemanusiaan seperti persahabatan, bermain, politik, seni dan berpikir tidak terjadi di pulau itu. Implikasi teori ini ialah manusia itu harus memiliki bakat dan minat yang berbeda antara seorang dengan lainnya, dan dari situ akan muncul spesialisasi  dan pembagian kerja.

Plato dan Aristoteles menyatakan hakikat manusia terletak pada pikirnya. Berdasarkan tiga unsur hakikat manusia, Plato membagi manusia menjadi tiga kelompok. Pertama, manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya ialah meraih pengetahuan; kedua manusia yang didominasi oleh roh yang hasrat utamanya ialah meraih reputasi; ketiga, manusia yang didominasi nafsu yang hasrat utamanya pada materi. Tugas rasio adalah mengontrol roh dan nafsu.

Taraf pengalaman mental manusia terdiri dari penngalaman-pengalamn mental yang begitu kompleks, kegiatan mental yang kompleks ini merupakan kesatuan dari emosi, rasa senang (enjoyment), harapan, kehawatiran dan ketakutan penyesalan penilaian terhadap macam-macam alternatif serta macam-macam keputusan, pengalaman mental mempunyai dasarnya didalam pengalamn fisik.

Badan juga berfungsi sebagai bidang ekspresi manusia. Jiwa manusia adalah kesatuan kompleks dari kegiatan mental, dari yang paling rendah ke yang bersifat intelektual.
Mengenai kedudukan manusia yang paling menarik adalah sendiri dalam lngkungan yang diselidiki pula. Ternyata penyelidikan mengenai lingkungan ini lebih (dianggap) memuaskan dari pada penylidikan tentang manusia itu sendiri.

Plato dan Aristoteles menyatakan hakikat manusia terletak pada pikirnya. Bicara masalah hidup manusia itu memang unik, hidup adalah aktivitas, dan segala aktivitas membawa besertanya masalah-masalah tertentu. Masalah-masalah termaksud harus dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia itu sesuatu yang sukses. Masalah-masalah tesebut dibagi 2 kategori, yaitu masalah immediate problem dan masalah asasi(utimmate problems)

Immediate problems ialah masalah-maslah praktis sehari-hari , masalah yang kemballi kepada keperluan-keperluan pribadi yang mendesak dan masalah seperti :administrasi negara, produksi, konsumsi dan distribusi. Kemudian masalah asai manusia , maka setiap manusia yang memperhatikan hidup dengan serius akan mendapatkan drinya berhadapan muka dengan masalah-masalah asasi tersebut. Setelah dia merasakan desakan beban dan liku-liku hidup.

Manusia Mempunyai Pengetahuan

Pengetahuan merupakan bagi makhluk yang mempunnyainya apakah dia manusia, malaikat atau banatang suatu kekayaan dan kesempurnaan. Dengan adanya pengetahuan yang dimilikinya manusia bisa memahami dirinya sendiri dan keberadaanya. Pengetahuan lebiih merupakan suatu cara berada dari pada suatau cara mempunyai. Aktifitas itu tidak berupa penyitaan  atau pemilikan benda-benda sebaliknya berupa keterbukaan terhadap mereka.

Jadi pengetahuan adalah suatu kegiatan mempengaruhi subjek yang mengetahui dalam dirinya. Dia adalah suatu ketentuan yang memperkaya eksistensi subyek.

Seputar Manusia

Kita menyadari diri kita meskipun sebagai satu kesatuan yang utuh, namun diri kita jelas terdiri dari bagian-bagian dan aspek-aspek yang begitu kaya, terdiri dari badan dan jiwa yang masing-masing kegiatan, kemampuan dan gaya serta perkembanganya sendiri.

Para pendukung fanatik tradisi, yang boleh disebut kaum konservatif, kurang lebiih berpegang pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, tidak tetap dan tidak dapat diramalkan secara logis. Sebab kodrat manusia telah rusak berat dan tidak tersembuhkan karena telah dicederai oleh dosa asal, atau sejenis itu. Sedangkan para pendukung revolusioner, yang biasanya disebut kaum liberal berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya baik dan bisa mencapai kesempurnaan.

Mengenai badan manusia dan strukturnya didalam ini berproses secara sederhana biasa dkatakan bahwa kutub fisi berfungsi secara husus pada wal proses. Kutub fisiklah yang menangkap atau menerima bahan atau penelolaan yang telah disajikan oleh dunia, sedangkan kutub mental berkegiatan untuk mengelola bahan tersebut sampai pada tahap kepenuhan diri.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa badan harus dimengerti secara luas, yaitu sebagai hasil dari seluruh proses yang bersifat obyektif, tidak berubah dan menjadi bahan bagi kutub fisik dari pengada-pengada baru. Didalam pengertian yang digunakan disi, badan bukan hanya terbatas pada tubuh, tetapi segala bentuk ekspresi yang bisa diamati pada manusia yang telah selesai berproses setiap saatnya, misalnya saja termasuk didalamnya, bagaimana seorang tertawa, menangis, berjalan, lari, duduk, tidur dan seterusnya untuk saat ini kita memusatkan perhatian kita pada tubuh manusia.

Jumat, 19 Juni 2015

Jean Paul Sartre

Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
 
Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Prancis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis dan merupakan anak tunggal dari keluarga bourgeois yang taat beraga Katolik. Ayahnya, Jean Baptiste Sartre dikenal sebagai prajurit militer dan ibunya Anne Schweitzer berasal dari keluarga intelektual keturunan Jerman-Alsatian. Sartre memiliki kakek bernama Charles Schweitzer yang  dikenal sebagai seorang guru bahasa Jerman di sekolah menengah atas dan paman bernama Albert Schweitzer yang dikenal luas sebagai penulis terkenal peraih penghargaan nobel.
Sejak kecil Sartre dibesarkan oleh ibunya dan Ia tidak pernah mengenal ayahnya sebab beliau telah meninggal pada tahun 1906 akibat demam tinggi. Sosok ayah kemudian digantikan oleh kakeknya, Charles Schweitzer. Charles menjadi figur yang sangat penting dan berpengaruh bagi hidup Sartre. Melalui kakeknya, Sartre telah mengenal karya-karya sastra klasik di usia masih sangat muda bahkan sebelum memasuki usia sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917, Poulou (nama panggilan kecil Sartre) tinggal di rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang membahagiakan serta tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri . Melalui perpustakaan pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya sastra terkenal lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Namun masa kecil Sartre yang membahagiakan itu harus berakhir ketika di tahun 1917, ibunya menikah lagi dengan seorang polytechnicien. Sartre tidak pernah menyukai ayah tirinya itu. Sejak pernikahan kedua ibunya, Sartre pindah ke La Rochelle dan tinggal di kota itu selama tiga tahun. Baginya waktu tiga tahun tersebut menjadi masa-masa yang paling menyedihkan dalam hidupnya karena menganggap ayah tirinya telah mengambil perhatian ibunya yang sebelumnya hanya tertuju pada Sartre.
Pada usia 16 tahun, Sartre masuk lycée Henri IV dan kemudian bertemu dengan Paul Nizan yang bersama-sama dengannya mempersiapkan untuk masuk ke l’école Normale Supérieure. Nizan telah mengenalkan kepadanya karir kepenulisan dan menjadi sahabat karib Sartre hingga kematiannya di tahun 1940. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya memberikan pengaruh pada perkembangan kepribadian dan pemikiran Sartre. Dalam lycée Henri IV keduanya dikenal sebagai siswa cerdas dan kritis sehingga dengan mudah lulus dari sekolah yang elit dan bergengsi itu. Kekompakan keduanya kemudian dituangkan dalam karya sastra mereka yang pertama, berupa dua petit conte yang berisi sindiran-sindiran terhadap para professeur.
Pada tahun 1924 Sartre pun melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur dan bertemu dengan Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek filsafat barat yang menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin Heidegger. Sartre telah menejemahkan la Psycopathologie karya Jaspers bersama Nizan pada tahun 1927. Kemudian berkat kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre berhasil lulus ujian agrégation filsafat. Ujian tersebut memberikan Sartre kesempatan untuk berkarir sebagai guru filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.
Sejak muda, Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala kebiasaannya. Perasaan tidak suka itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Perasaaan dan keinginannya itulah yang mendasari roman-romannya. Pada tahun 1938, saat sedang menjadi dosen muda di Lycée du Havre, Sartre menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal. Nausée bercerita tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi dirinya.
Sartre juga menulis novel Le Mur. Le Mur menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali dirinya sendiri dan absurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.
Pada tahun 1929, Sartre bergabung dalam Angkatan Bersenjata Nasional Perancis sebagai seorang meteorologist. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjarakan selama 9 bulan sebagai seorang tahanan perang pada tahun 1940. Selama menjadi tahanan perang Sartre ia harus berpindah-pindah dari Padoux, kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah ia sempat menulis skenario teater pertamanya Bariona, fills du tonnerre.
Sartre dibebaskan pada bulan April 1941 dengan alasan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Ia kemudian kembali mengajar di Lycée Pasteur di dekat Paris. Sebulan kemudian di kota Paris, Sartre dan teman-temannya : Simone de Beauvoir, Marleau-Ponty, Jean-Toussaint, Dominique Desanti, Jean Kanapa, dan siswa-siswi Ecole Normale, mendirikan kelompok pemberontak Socialisme et Liberte. Pada bulan Agustus 1941, Sartre mencoba meminta dukungan Andre Malraux dan Andre Gide terhadap gerakan pemberontakan yang didirikan Sartre dkk namun baik Gide maupun Malraux tidak memberikan kepastian untuk mendukung gerakan tersebut.
Sartre memimpin majalah Les Temps Modernes antara tahun 1945 dan 1955. Ia dipandang sebagai penseur engagé karena ia menerbitkan karya-karya teater yang bertemakan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Ia memanfaatkan teater untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tentang hidup yang disebut eksistensialisme. Pemikiran Sartre itu bertplak dari pendapat: L’Existence de l’homme exclut l’existence de Dieu ‘Eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan.’ Melalui karya-karyanyalah Sartre mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan pembenarannya, iamuncul dan tidak dapat ditolak. Untuk meberi makna hidup, manusia hanya dapat mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan dari siapapun: L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘Manusia tidak lain adalah apa yang dibuatnya sendiri.’
Ketika Sartre mengerjakan Critique dan sebuah biografi analisis dari Gustave Flaubert, L’Idiot de la famille yang merupakan karya terakhir selama hidupnya, kondisi fisiknya. Hal ini dikarenakan terlalu banyak bekerja dan mengkonsumsi narkoba, amfetamin untuk merampungkan karya-karyanya tersebut. Namun kedua karyanya tersebut tidak berhasil diselesaikan, Sartre pun kemudian meninggal pada 15 April 1980 karena mengidap Oedema paru-paru.

1.1.2    Karya-karya Jean-Paul Sartre
  • La Trencendance de l’Égo (1936)
  • L’Imagination (1936)
  • Esquisse d’une théorie des émotions (1939)
  • Le Mur (1939)
  • La Nausée (1938)
  • Les Mouches (1943)
  • L’Etre en le Néant (1943)
  • Huis Clos (1944)
  • Chemins de la Liberté
  • L’Âge de Raison
  • Le Sursis
  • L’Existentialisme est un humanisme (pidato) (1946)
  • La Putain Respectueuse
  • Réflexions sur loa question juive
  • Essai sur Beaudelaire (1947)
  • Les Mains sales (1948)
  • La Mort dans l’âme (1949)
  • Le Diable et le Bon Dieu (1951)
  • Saint Genet, comédien et martyr
  • Nekrassov (1955)
  • Les Séquestrés d’Altona
  • L’Être et le Néant: Critique de la raison dialectique (1960)
  •  Les Mots (1964)
  • L’Idiot de la Famille (1971)
 1.1.3    Jean Paul Sartre dan Pemikirannya

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.
Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.
  • Kesadaran
Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.
Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.
Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.
  • Waktu
Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.
  • Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.
Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.

 1.2       Selayang Pandang Mengenai ‘Les Mouches’

Les Mouches merupakan karya drama Sartre yang ditulis pada tahun 1943 dan diadaptasi dari cerita mitologi Yunani.
Dilatarbelakangi oleh Agamemnon, Raja dari Argos yang terletak di timur laut dari Péloponoèse yang memiliki seorang istri bernama Clytemnestra dan tiga orang anak yaitu Oreste, Electre dan Ephygénie (telah meninggal), yang sedang mengarungi laut untuk menaklukan Troie. Kemudian angin pun tiba-tiba berhembus dengan kencang dan ahli nujum kerajaan mengatakan bahwa hal itu merupakan kutukan dari para dewa akibat Agamemnon telah membunuh seekor kijang betina. Agamemnon, raja yang haus akan kekuasaan rela untuk mengorbankan anaknya, Ephygénie agar perjalanannya menuju Troie berjalan mulus kembali. Clytemnestra sangat terpukul dan sedih mendengar kabar tersebut dan ia pun menjadi sangat membenci suaminya. Selama Agamemnon berada di Troie, Clytemnestra jatuh cinta kepada Aegistheus yang nantinya akan membunuh Agamemnon sekembalinya dari Troie. Pada nantinya Orestelah yang akan membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh ibunya Clytemnestra dan kekasih ibunya Aegistheus.

1.2.1    Tokoh-tokoh dalam ‘Les Mouches
  • Jupiter
  • Oreste
  • Aegistheus/ Egisthe
  • Le Pedagogue
  • Electre
  • Clytemnestre
  • Les Erinyes: les mouches
1.2.2    Sinopsis ‘Les Mouches

Babak I
Oreste, seorang pengembara, datang ke kota bersama guru pribadinya (la pedagogue) setelah melakukan perjalanan sebagai usaha untuk menemukan jati dirinya. Oreste digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tampak dewasa meskipun wajahnya masih seperti anak kecil, polos, dan seolah-olah belum tahu akan tanggung jawabnya. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Philébus ketika memasuki kota dengan tujuan menyembunyikan idenditas dirinya. Jupiter juga melakukan hal yang sama yaitu menyamar sebagai orang lain untuk mengikuti petualangan Oreste.
Di kota, Oreste dan gurunya menghadiri acara peringatan kematian Agamemnon (ayah Oreste) lima belas tahun yang lalu. Tidak seorang pun yang berbicara dan menyapa Oreste serta guru pribadinya, orang-orang dalam peringatan tersebut benar-benar tidak mengenali Oreste. Oreste lalu bertemu dengan kakak perempuannya yang bernama Electre yang sepeninggal ayahnya tumbuh menjadi gadis yang penuh kebencian terhadap ibu dan Aegistheus, ayah tirinya sekaligus pembunuh ayah kandungnya.

Babak II

Oreste memutuskan datang ke upacara kematian ayahnya dan menunjukkan kemarahannya pada Aegistheus. Dalam rangkaian peringatan kematian Agamemnon, terdapat satu hari di mana para pasukan kerajaan diizinkan keluar untuk mengelilingi kota dan menyiksa orang-orang yang dianggap bersalah. Penduduk kota tidak dapat melarikan diri dan hanya mampu pasrah.
Electre hadir paling telat dalam upacara dansa. Ia datang dengan gaun berwarna putih sebagai simbol masa muda dan tidak berdosa. Ia berdansa dan bersorak-sorak serta mengolok-olok orang yang datang berkabung sebagai simbol kebebasannya. Penduduk kota mulai percaya dan berpikir tentang kebebasan sampai Jupiter melarang mereka melakukannya. Jupiter juga mengahalangi niat Oreste bertarung dengan raja Aegistheus saat itu.
Oreste dan Electre kemudian sepakat untuk menyusun rencana pembunuhan terhadap raja dan ibu mereka sendiri. Mengetahu niat tersebut, Jupiter mendatangi Aegistheus dan membocorkan rencana pembunuhan yang telah disusun oleh dua bersaudara Oreste dan Electre. Jupiter pun meminta Aegistheus untuk segera mengambil tindakan.
Ketika Oreste menyerang Aegistheus, Aegistheus menolak melawan balik serangan lawannya, maka Aegistheus akhirnya mati dan kemudian disusul oleh kematian Clytemnestra yang dibunuh seketika setelah Oreste menghabisi nyawa Aegistheus.

Babak III

Setelah melakukan pembunuhan, Oreste dan Electra melarikan diri ke kuil Apollo dengan tujuan melarikan diri dari manusia dan les mouches (yang berarti dosa yang sesungguhnya). Sementara Oreste dan Electra bersembunyi dalam kuil, para petugas pemberi hukuman telah berjaga-jaga menunggu mereka keluar dari kuil Apollo untuk kemudian menyerbu dan menyiksa keduanya.
Electre mulai merasa takut dan mencoba untuk menakut-nakuti saudara laki-lakinya. Kemudian ia pun menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang telah mereka lakukan dan mengakui bahwa pembunuhan itu adalah suatu kesalahan/dosa. Electre mengatakan bahwa ia sebenarnya hanya bermimpi tentang pembunuhan itu sejak 15 tahun yang lalu sebagai bentuk pelarian. Ia juga menegaskan bahwa Orestelah pembunuh sebenarnya.
Jupiter datang dan meyakinkan Oreste agar segera menebus kejahatannya, namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Oreste. Oreste merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa sehingga tidak ada yang perlu ditebusnya. Jupiter lalu menjanjikan tahta bagi Oreste serta akan memberikan perlindungan bagi dua bersaudara itu jika mereka bersedia bertobat. Namun Oreste menolak tawaran Jupiter yang akan memberikan tahta dan harta  milik Aegistheus kepadanya.

2.1 Hubungan Les Mouches dengan Pemikiran Jean-Paul Sartre

Les Mouches merupakan gambaran dari penyesalan (le remords) yang menghantui manusia setelah ia melakukan sebuah perbuatan yang dinilai buruk berdasarkan norma moralitas yang sudah terbentuk dalam suatu masyarakat. Dalam karya Sartre ini, penduduk kota Argos adalah penduduk yang hidupnya tidak tenang akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh Aegistheus bahwa terdapat satu hari khusus dalam perayaan kematian Agamemnon yang memperbolehkan pihak kerajaan untuk menghukum  siapapun di luar kalangan istana yang dianggap bersalah dan penduduk kota hanya bisa pasrah menghadapi hal tersebut.
Oreste, putra Agamemnon ingin terlepas dari ketakutan yang berasal dari luar dirinya. Perbuatan yang telah ia lakukan yaitu membunuh ibu kandungnya Clytemnestra dan Aegistheus merupakan wujud kebebasan dirinya dari les mouches (le remords). Dengan perbuatannya, Oreste ingin agar penduduk kota sadar bahwa manusia ditakdirkan bebas.
Sekalipun manusia bebas, ia tetap dituntut untuk senantiasa mempertimbangkan pilihannya. Sekali pilihan itu diaktualisasikan dalam tindakan, tidak ada lagi jalan mundur bagi manusia. Persoalannya, manusia tidak memiliki kriteria benar-salah, sehingga pilihan tindakannya selalu mengandung kemungkinan salah. Hal itu membuat manusia senantiasa cemas dan seringkali tergoda untuk menggantungkan diri pada norma kebenaran dari luar dirinya. Padahal, kesahihan norma hanya dapat diperoleh dari tindakan subjektif yang dialami. Perlu diketahui pula bahwa subjektivitas sifatnya tidak tertutup, karena tindakan individual akan melibatkan manusia secara umum.
Serba ketidakpastian itu merupakan sumber kecemasan. Hal itulah yang sering menjerumuskan diri manusia dalam suatu kemunafikan atau mauvaise foi. Penyesalan merupakan bentuk kemunafikan itu. Ungkapan “Maaf, saya tidak sadar melakukannya”, atau “ Itu bukan kesalahan saya”, merupakan ungkapan kemunafikan, karena hal itu mengandaikan adanya hakikat manusia a priori di luar diri manusia, menggantungkan kesadaran pada sesuatu yang abstrak di luar dirinya, sekaligus melemparkan tanggung jawab tindakannya dengan mengingkari dirinya.

ELECTRE: Par notre père, Oreste, je t’en conjure, ne joins pas le blasphème au crime.

Tokoh Electre merupakan gambaran dari sikap kemunafikan itu. Electre yang telah bertahun-tahun mendambakan kematian ibunya, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya telah terbunuh oleh Oreste, berkat bantuannya. Ia sangat khawatir dan kemudian takut pada dirinya sendiri. Hal itu membuatnya mulai menyalahkan diri dan akhirnya menyerah pada Jupiter untuk memohon bantuannya.Oreste juga merasakan kecemasan yang sama. Namun ia sadar akan kebebasannya dan bertekad untuk tidak pernah menyesalinya perbuatannya.

2.1.1 Ateisme dan KeTuhanan menurut Jean-Paul Sartre dalam Les Mouches

Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Sartre mengambil posisi ateis untuk menjelaskan gagasan eksistensinya. Posisi ateistik menempatkan manusia sebagai satu-satunya penentu bagi kemanusiaan. Artinya, manusia tidak memiliki acuan bagi hakikatnya sebagai manusia, bagi Baik dan Buruk, bagi nilai-nilai moralnya. Hal ini sungguh menyulitkan, karena dengan demikian manusia tidak memiliki ‘kompas’ dan kerangka-kerangka acuan bagi tindakannya. Andaikata manusia menerima Tuhan sebagai penciptanya itu berarti ia menerima bahwa hakikat kemanusiaan berada di luar dunia, dan ia diciptakan dengan kepenuhan finalitas tertentu dan jelas. Dengan menolak Tuhan, manusia ditempatkan sebagai satu-satunya penentu bagi kehidupannya, dan sebagai satu-satunya hakim bagi tindakannya.
Pemikiran Sartre ini tercermin dalam jawaban Oreste kepada Jupiter berikut ini,

ORESTEQu’elle s’effrite! Que les rochers me condamnent et que les palntes se fanent sur mon passage: tout ton univers ne suffira pas à me dinner tort. Tu es le roi des Dieux, Jupiter, le roi des pierres et des étoiles, le roi des vagues de la mer. Mais tu n’es pas le roi des hommes.

Jawaban Oreste tersebut memperlihatkan bahwa ia menolak penentuan kebenaran Tuhan. Ia sendirilah yang berhak menentukan dan memberikan kriteria benar salah bagi tindakannya. Oreste tidak menunjukan sikap menolak secara sistematis kehadiran Tuhan. Namun yang penting, meskipun Tuhan itu ada, hal tersebut tidak berati apa-apa bagi manusia, karena tetap manusialah yang menentukan dirinya sendiri. Sikap Oreste memperlihatkan suatu penolakan radikal terhadap penghakiman dirinya. Dalam keberadaannya, hanya manusia yang berhak menghakimi dirinya sendiri. Dalam hal ini, keberadaan manusia mengandaikan suatu subjektivitas dan kebebasan yang inheren dengan keberadaannya dan tidak terhindarkan.
Posisi Tuhan dalam karya Les Mouches diwakilkan oleh Jupiter yang dimunculkan untuk menonjolkan pemikiran Sartre pada tokoh Oreste.

JUPITER: (…) je suis le Bien. Mais toi, tu as fait le mal, et les choses t’accusent de leurs voix pétrifiées: le Bien est partout, c’est la moelle du sureau, la fraîcheur de la source, le grain du silex, la pesanteur de la pierre; tu le retrouveras jusque dans la nature du feu et de la lumière, ton corps même te trahit, car il se conforme à mes prscriptions. Le Bien est en toi, hors de toi: (…)

Berdasarkan kutipan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa Jupiter merupakan tokoh representatif keilahian yang dimiliki Tuhan. Jupiter memiliki otoritas yang absolut terhadap seluruh makhluk ciptaannya dan norma-norma moralitas pun ditentukan olehnya. Nilai Baik tidak berasal dari diri manusia tetapi merupakan Tuhan itu sendiri. Tuhan memiliki ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang dianggap baik atau buruk. Contohnya ketika manusia melakukan tindakan kebajikan, ia tidak melakukan perbuatan tersebut berdasarkan kesadaran dirinya sendiri melainkan lebih kepada rasa takut terhadap hukuman dari Tuhan jika ia tidak melakukan kebajikan.
Hubungan antara Jupiter dan Aegistheus merupakan representasi Tuhan dan agama. Aegistheus mencerminkan agama yang merupakan alat Tuhan di dunia untuk menciptakan sistem tata nilai baik dan buruk bagi manusia. Dalam karya Les Mouches, Aegistheus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat para penduduk kota tunduk kepada perintahnya. Sama halnya dengan agama, Aegistheus mengeluarkan tata nilai mengenai baik dan buruk

2.1.2 Pemikiran Jean-Paul Sartre mengenai Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Les Mouches
Konsep kebebasan dan tanggung jawab menurut Sartre terdapat pada ucapan Oreste berikut ini,
ORESTE: Je ne suis ni le maître ni l’esclave, Jupiter. Je suis ma liberté! A peine m’as-tu as créé que j’ai cessé de t’appartenir.

Jawaban Oreste di atas memberikan kita gambaran mengenai kesadaran Oreste terhadap konsekwensi yang harus diterima olehnya atas apa yang telah ia perbuat. Manusia ditakdirkan untuk bebas. Namun kebebasan itu menjadi problematik, karena manusia harus memilih dan pilihannya itu selalu berarti keterlibatan terhadap manusia. Kebebasan tidak bermakna tanpa keterlibatan, dan keterlibatan itu ditentukan oleh pilihan-pilihan untuk bertindak karena manusia tidak lain dari tindakannya.
Perkataan Oreste di atas pun menyanggah pernyataan Jupiter sebelumnya bahwa dia lah yang memberi kebebasan kepada manusia untuk melayaninya (Je t’ai donné ta liberté pour me servir). Sedangkan menurut Oreste, kebebasan itu bukan sebuah pemberian, bukan pula sesuatu yang berusaha dicapai, tetapi kebebasan adalah manusia.
Pada dialog yang lain Oreste menunjukkan kesadaran akan kebebasan yang merupakan dirinya

ORESTE: Hier, j’etais près d’Electre; toute ta nature se pressait autour de moi; elle chantait ton Bien, la sirène, et me prodiguait les conseils. (…) Mais tout à coup  la liberté a fondu sur moi et m’a transi, la nature a sauté en arrière, et je n’ai plus eu d’âge, et je me suis senti tout seul, au milieu de ton petit monde bénin, comme quelqu’un qui a perdu son ombre; et il n’ya plus rien eu au ciel, ni Bien ni Mal, ni personne pour me dinner des ordres.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Oreste sadar akan konsepsi kebebasan yang kemudian mengantarkannya kepada kebebasan itu sendiri. Kata ‘hier’ menunjukkan bahwa dulu Oreste membutuhkan Tuhan, tetapi kemudian ia sadar bahwa untuk mencapai kebebasan ia harus menghapus keberadaan Tuhan dari hidupnya. Pilihannya untuk menghapus keberadaan Tuhan membawa kebebasannya menemukan makna riil, karena dengan keputusan itu ia seta merta memutuskan ikatan dengan segala kepastian hipotetis, hakikat manusia, dan hakikat kebenaran hipotetis di luar dirinya.

Jumat, 05 Juni 2015

August Comte

Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis, pada 17 Januari 1798. Memiliki nama asli Isidore Marie Auguste Comte, ia berasal dari keluarga bangsawan Katholik. Ia menempuh pendidikan di Ecole Polytechnique dan mengambil juusan kedokteran di Montpellier. Comte juga berpengalaman memberi les matematika dan  menjadi murid sekaligus sekretaris Saint Simon.
Comte memiliki kisah cinta platonik dan tragis. Menikah dengan Caroline Massin, seorang pekerja seks, ia bercerai pada 1842. Ia menikah dengan Clotide de Vlaux namun pernikahan tersebut tidak berumur lama. Clotide de Vlaux meninggal dunia karena sakit Tubercolosis.
Kehidupan pribadi Comte sebagai pemikir besar dilingkupi kemiskinan.  Ia dikenal sebagai sosok emosional dalam persahabatan. Comte juga kerap terlibat konflik dalam persoalan cinta. Percobaan bunuh diri pun pernah dilakukan oleh tokoh kunci sosiologi ini. Comte meninggal dunia pada usia 59 tahun pada 5 September 1857.
Selama karir intelektualnya Comte menghasilkan banyak karyanya, antara lain System of Positive politics, The Scientific Labors Necessary for Reorganization of Society (1882), The Positive Philosophy (6 jilid 1830-1840), Subjective Synthesis (1820-1903).
Pemikiran Auguste Comte, selaku orang yang memulai kajian sosiologi dan kemudian disebut sebagai bapak sosiologi ini, dipengaruhi oleh revolusi Perancis. Revolusi Perancis menjadikan masyarakat terbelah menjadi dua. Pertama masyarakat yang optimis, positif yang memandang masa depan lebih baik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi. Kedua masyarakat pesimis dan negatif memandang masa depan dan perubahan yang dinilai menimbulkan anarkisme, konflik sosial dan sikap individualistic.
Pemikiran Comte yang terkenal salah satunya adalah penjabaran sejarah perkembangan sosial atau peradaban manusia. Teori Comte tersebut membagi fase perkembangan peradaban menjadi tiga tahap. Tahap pertama yaitu tahap teologis, sebelum 1300. Pada fase ini manusia belum menjadi subyek bagi dirinya dan sangat tergantung pada dunia luar. Contohnya,  kesuburan dan panen padi seorang petani tergantung kemurahannya Dewi Sri pada konteks mitologi Indonesia.
Tahap kedua, adalah tahap metafisika. Pada tahap ini manusia atau masyarakat mulai menggunakan nalarnya. Keterbatasan nalar manusia pada fase ini adalah kentalnya kecenderungan spekulasi yang belum melalui analisis empirik. Contohnya, nalar masyarakat mengalami yang menilai kesusahansebagai takdir semata.
Tahap ketiga, tahap positifistik. Ini adalah tahap modern, di mana manusia atau masyarakat menggunakan nalarnya; menjadi subyek dan memandang yang lain sebagai obyek. Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris.
Comte membagi masalah sosiologi menjadi dua, yaitu ranah sosial yang statis (social static) dan ranah sosial yang dinamis (social dynamic). Ranah Sosial statis mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan yang selalu membutuhkan sebuah tatanan dan kesepakatanbersama. Ranah dinamis menunjukkan watak ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat, meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang massa